Mengenal Perayaan Waisak di Candi Borobudur sebagai Awal Kebangkitan Spiritualitas Buddhis

Perayaan Waisak di Candi Borobudur bukan sekadar seremoni keagamaan, tetapi juga simbol kebangkitan spiritual umat Buddha di Indonesia. Waisak sendiri merupakan momen suci umat Buddha yang memperingati tiga peristiwa penting dalam kehidupan Sang Buddha: kelahiran Pangeran Siddharta, pencapaian Pencerahan Sempurna, dan Parinirwana. Ketiga peristiwa ini diyakini terjadi pada bulan Waisak saat bulan purnama.

Meski baru secara nasional dirayakan di Borobudur pada tahun 1953, sejarah perayaan Waisak di nusantara sejatinya telah berlangsung jauh sebelumnya. Candi Borobudur, sebagai peninggalan agung kebudayaan Buddha, menjadi pusat spiritual yang kembali dihidupkan setelah ratusan tahun tidur.

Sejarah Panjang Perayaan Waisak di Indonesia dan Pengaruh Negara Sekitar

Sebelum Indonesia merdeka, perayaan Waisak telah hidup di kalangan umat Buddha di beberapa daerah. Pada abad ke-19, semangat kebangkitan Buddhisme juga menggema dari negara-negara sekitar seperti Sri Lanka, yang saat itu tengah berada di bawah kolonialisme Inggris. Di tengah dominasi Kristen dan kolonialisme, para tokoh Buddhis di Sri Lanka memperjuangkan agar Waisak diakui secara resmi sebagai hari libur nasional.

Semangat itu menjalar ke Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Perayaan Waisak di awal abad ke-20 dilakukan dalam bentuk sembahyang dan perenungan di kelenteng dan loji teosofi. Tahun 1929, seorang tokoh teosofi bernama Elman Gerrard Meertens memprakarsai Waisak di Candi Mendut. Inilah salah satu tonggak yang membuka jalan bagi perayaan Waisak di Candi Borobudur.

Perayaan Waisak di Candi Borobudur yang Pertama pada Tahun 1932

Pada 20 Mei 1932, Candi Borobudur menjadi tempat peringatan Waisak pertama kali yang digagas oleh komunitas teosofi. Meski belum melibatkan umat Buddha secara luas, kegiatan ini membuka jalan bagi kebangkitan spiritual umat Buddha di Indonesia. Bahkan pada 1934, Biksu Aria Nanda Maha Thera dari Sri Lanka datang dan menanam pohon Bodhi di pelataran Candi Borobudur—sebuah simbol kuat kelahiran spiritual kembali ajaran Buddha di tanah air.

Perayaan Waisak 1938 di Borobudur: Awal Keterlibatan Umat Lokal

Waisak tahun 1938 tercatat sebagai perayaan yang mulai melibatkan masyarakat lokal, seperti warga dari Yogyakarta, Magelang, hingga Temanggung. Dalam catatan Widya Moen yang dimuat di majalah Sangka Buatpo, sekitar 150 peserta mengikuti ritual baca kitab suci dan ceramah oleh tokoh pendidikan Mangun Soekarso. Namun, kala itu perayaan masih didominasi oleh komunitas teosofi dan kalangan bangsawan Jawa, belum secara terbuka melibatkan umat Buddha sebagai komunitas agama.

Waisak 1953: Perayaan Nasional di Candi Borobudur yang Menggugah Dunia

Tahun 1953 menjadi titik balik penting dalam sejarah perayaan Waisak di Indonesia. Untuk pertama kalinya, umat Buddha dari seluruh Indonesia dan negara-negara tetangga seperti Sri Lanka, India, Singapura, dan Thailand berkumpul di Candi Borobudur. Tien An, Ketua Gabungan Sam Kauw Indonesia (kini Tri Dharma), memprakarsai perayaan berskala nasional tersebut.

Waisak 1953 bukan sekadar upacara, melainkan kebangkitan umat Buddha Indonesia setelah “tertidur” selama lima abad sejak runtuhnya Majapahit. Delegasi luar negeri hadir, menjadikan momen ini bukan hanya penting secara nasional, tetapi juga internasional.

Kiprah Biksu Asin Jinarakita dalam Memperkuat Perayaan Waisak di Borobudur

Nama Biksu Asin Jinarakita tercatat sebagai tokoh sentral dalam memperkuat kembali perayaan Waisak di Indonesia. Pada 6 Mei 1955, beliau kembali memimpin upacara besar di Candi Borobudur yang melibatkan umat Buddha dari Jawa, Bali, hingga Makassar. Bahkan, Radio Republik Indonesia menyiarkan langsung prosesi ini secara nasional.

Biksu Jinarakita membacakan syair kemenangan “Jaya Mangala Gatha” dan menyulut lilin di stupa utama Candi Borobudur—sebuah simbol pencerahan dan harapan baru. Tahun berikutnya, 24 Mei 1956, perayaan Waisak kembali diadakan secara terbuka dan menyatukan ribuan umat Buddha dalam ritual spiritual yang penuh khidmat.

Perayaan Waisak di Candi Borobudur Adalah Warisan Budaya dan Spiritualitas

Kini, perayaan Waisak di Candi Borobudur bukan hanya milik umat Buddha, tetapi juga menjadi warisan budaya nasional yang dirayakan dengan penuh hormat. Prosesi Waisak yang khidmat dan sakral telah menjadi daya tarik spiritual, budaya, dan bahkan pariwisata. Ia menjadi pengingat bahwa Indonesia adalah rumah bagi keberagaman yang damai dan harmonis.

Scroll to Top