Setiap tahun, umat Buddha di seluruh dunia merayakan Hari Waisak (Vesak) dengan penuh khidmat dan kesakralan. Hari Waisak, yang juga dikenal sebagai Hari Tri Suci Waisak, merupakan momen spiritual yang sangat istimewa bagi pemeluk agama Buddha. Perayaan ini tidak hanya menandai satu peristiwa penting, tetapi tiga momen krusial dalam sejarah Buddha yang terjadi pada bulan purnama di bulan Waisak. Dari kelahiran Pangeran Siddharta, pencerahan agung Sang Buddha, hingga wafatnya Sang Guru, Hari Waisak menjadi cerminan perjalanan spiritual yang mendalam dan mengagumkan.
Makna dan Perayaan Waisak
Hari Waisak memiliki makna yang sangat dalam bagi umat Buddha. Ini bukan sekadar perayaan keagamaan, tetapi juga momen introspeksi dan pembaruan spiritual. Di Indonesia, perayaan Waisak biasanya dipusatkan di Candi Borobudur atau Candi Mendut, meskipun dalam beberapa tahun terakhir, terutama sejak pandemi, lokasi perayaan telah mengalami perubahan.
Penting untuk dicatat bahwa Hari Raya Waisak telah ditetapkan sebagai hari libur nasional di Indonesia berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 3 Tahun 1983. Ini menunjukkan pengakuan dan penghormatan negara terhadap keberagaman agama di Indonesia.
Tiga Peristiwa Penting yang Diperingati
Dalam momen Hari Raya Waisak, umat Buddha memperingati tiga peristiwa penting (Trisuci Waisak) yang semuanya terjadi di bulan Pesaka dan pada waktu yang sama, yaitu saat bulan purnama.
Hari Waisak menandai tiga peristiwa penting dalam sejarah Buddha:
- Kelahiran Pangeran Siddharta: Pada tahun 623 SM, Pangeran Siddharta Gautama lahir di Taman Lumbini, yang kini terletak di Nepal. Kelahirannya diyakini sebagai awal dari perjalanan seorang Bodhisattva menuju pencerahan Buddha.
- Pencapaian Penerangan Sempurna: Pada usia 35 tahun, Pangeran Siddharta mencapai pencerahan sempurna di Buddhagaya, menjadi Sammasambuddha. Momen ini terjadi setelah ia meninggalkan kehidupan istana dan menjalani pertapaan selama enam tahun.
- Parinibbana Sang Buddha: Setelah 45 tahun menyebarkan Dharma, Sang Buddha wafat (Parinibbana) di Kusinara pada usia 80 tahun, sekitar tahun 543 SM.
Kelahiran Pangeran Siddharta
Peristiwa pertama adalah kelahiran Pangeran Siddharta pada tahun 623 sebelum masehi. Pangeran Siddharta Gautama, putra dari Raja Suddhodana dan Ratu Mahamaya, lahir di Taman Lumbini, India (yang sekarang termasuk wilayah Nepal). Sejak lahir, Siddharta diyakini sebagai seorang Bodhisattva, calon Buddha, yang akan mencapai kebahagiaan tertinggi.
Pencapaian Penerangan Sempurna
Peristiwa kedua adalah pencapaian penerangan sempurna oleh Pangeran Siddharta pada usia 29 tahun. Pangeran meninggalkan kehidupan istana dan menuju hutan untuk mencari kebebasan dari empat peristiwa yang dilihatnya, yaitu kelahiran, penuaan, penyakit, dan kematian. Tepat pada saat bulan purnama di bulan Waisak, ketika Pangeran berusia 35 tahun, ia mencapai pencerahan sempurna dan menjadi Sammasambuddha. Peristiwa penerangan agung ini terjadi di Buddhagaya pada tahun yang sebelum masehi.
Parinibbana Sang Buddha
Peristiwa ketiga adalah Parinibbana, atau wafatnya Sang Buddha. Selama 45 tahun, Sang Buddha berkelana menyebarkan Dharma kepada umat manusia dengan penuh cinta dan kasih sayang. Hingga akhirnya, pada usia 80 tahun, Sang Buddha wafat atau Parinibbana di Kusinara pada tahun 543 sebelum masehi. Semua makhluk, para dewa, serta anggota Sangha bersujud sebagai tanda penghormatan terakhir kepada Sang Buddha.
Ritual dan Tradisi Perayaan Waisak
Peringatan Tri Suci Waisak biasanya dirayakan umat Buddha dengan melakukan ritual Puja Bakti di Vihara. Ritual ini dilakukan untuk mengingat kembali ajaran Sang Buddha, meneladani perilaku-Nya, dan melaksanakan ajaran agama Buddha dengan baik. Di Indonesia, perayaan Waisak seringkali dipusatkan di Candi Borobudur. Tradisi merayakan Waisak di Candi Borobudur telah dimulai sejak tahun 1929.
Sejarah Perayaan Waisak di Borobudur
Perayaan Waisak di Borobudur diinisiasi oleh Himpunan Teosofi Hindia Belanda, yang anggotanya terdiri dari campuran antara orang Eropa dan Jawa ningrat. Namun, perayaan ini sempat terhenti karena perang revolusi kemerdekaan Republik Indonesia dan baru dilaksanakan kembali di Candi Borobudur pada tahun 1953. Perayaan sempat terhenti lagi karena pemugaran tahun 1973, dan pusat perayaan dipindah ke Candi Mendut.
Momen Sakral di Candi Borobudur
Selama perayaan Waisak, umat Buddha dari seluruh pelosok Indonesia bahkan dunia, memadati halaman Candi Borobudur yang luas. Mereka telah berkumpul di Borobudur sejak malam menjelang Hari Raya. Umat Buddha, dipandu oleh biksu dan biksuni, membacakan Paritta Suci, Sutra Agung, dan mendengarkan pesan suci yang disampaikan oleh para rohaniawan.
Asal Usul Kata Waisak
Jika dirunut lebih jauh, kata Waisak berasal dari bahasa Pali, “Vasaka”. Dalam bahasa Sansekerta, sering disebut dengan “Vishaka”. Nama khas ini diambil dari bulan dalam kalender Buddha yang biasanya jatuh pada bulan Mei kalender Masehi. Namun, terkadang Hari Waisak jatuh pada akhir bulan April atau awal bulan Juni.
Hari Raya Waisak bukan sekadar peringatan sejarah, melainkan momen spiritual yang mendalam bagi umat Buddha dan pelajaran berharga bagi kita semua. Perayaan ini mengingatkan kita akan nilai-nilai universal seperti cinta kasih, kebijaksanaan, dan pencerahan diri. Di tengah keberagaman Indonesia, Hari Waisak juga menjadi simbol toleransi dan harmoni antar umat beragama. Mari kita renungkan makna Waisak sebagai inspirasi untuk menciptakan kehidupan yang lebih damai dan penuh kasih, tidak hanya bagi diri sendiri, tetapi juga bagi sesama dan alam semesta.